Kajian lebih mendalam tentang definisi eGov dan isu penting yang mengitarinya setidaknya akan memperjelas apakah penerapannya ide eGov memang telah sesuai hakekat eGov itu sendiri. Lebih spesifik, akan diketahui apakah investasi pemda untuk membangun infrastruktur bagi publikasi website-nya bisa dijustifikasi.
Visi Dasar eGov Bagi penulis, eGov secara sederhana bisa diartikan sebagai sebuah upaya pemerintah untuk memanfaatkan teknologi informasi untuk memberikan jasa publik yang lebih berkualitas kepada warganya. Makna kata ‘berkualitas’ bisa luas: mudah, cepat, hemat, transparan, dan accountable. Sementara itu pemanfaatan teknologi informasi dalam tubuh pemerintahan itu sendiri sebenarnya bukan hal yang baru. Pada masa lalu pemerintah daerah juga sudah menggunakan teknologi informasi, yang sering identik dengan komputer, untuk mempercepat proses otomasi tugas administrasi, misalnya di dinas pendapatan daerah. Meski istilah eGov belum muncul ketika itu, setidaknya lima tahun lalu, tapi upaya-upaya ini juga bermaksud meningkatkan kualitas pelayanan publik, pajak daerah.
Secara historis, ada dua faktor khusus yang bisa menjelaskan mengapa istilah eGov begitu populer sekarang ini: pertama, ‘meledaknya’ agenda reinventing government yang dimotori oleh dua penulis Amerika, Osborne dan Gabler (1992) dan, kedua, perkembangan teknologi informasi, terutama Internet dan web. Ide dasar reinventing government salah satunya adalah mewujudkan pemerintahan yang lebih berorientasi pada citizen. Meski ide seperti ini pun juga tidak baru, tapi gerakan reinventing government menjadi begitu terkenal karena mendapatkan momentum yang tepat. Pada awal 90-an, ekonomi Amerika sedang berat-beratnya sehingga memaksa sektor privat dan publik untuk melakukan pembenahan internal. Presiden Clinton ketika itu melihat bahwa ide Osborne cukup jitu untuk mengatasi persoalan internal yang dihadapi pemerintah Amerika. Ia adalah orang pertama yang berani mengambil inisiatif untuk melakukan perombakan birokrasi pemerintah federal, dengan menunjuk Osborne sebagai konsultannya. Pada saat yang sama, ia melihat potensi yang mulai ditawarkan teknologi informasi, terutama Internet dalam proses ini. Sebagai hasilnya setelah proses pembenahan internal dilakukan, website resmi pemerintah Amerika Firstgov (www.firstgov.gov) dipublikasikan sebagai media baru bagi pemerintah Amerika untuk berinteraksi dengan warganya. Setelah itu, demam dotgov mulai menggejala diseluruh dunia, termasuk di negara-negara berkembang.
Fakta historis tersebut menekankan bahwa visi dasar dari eGov adalah peningkatan kualitas pelayanan publik yang dilakukan dengan pembenahan internal dan eksternal. Pengalaman Amerika menunjukkan sebuah pelajaran penting, yaitu eGov diterapkan bukan hanya ingin memanfaatkan teknologi Internet, melainkan dilakukan dalam konteks reinventing government. Website hanya sebuah bagian dari proses besar pembenahan internal dan reorientasi pada pentingnya stakeholders pemerintah. Peningkatan kualitas pelayanan publik akan dengan sendirinya dapat dicapai jika upaya pembenahan prosedur dan organisasi pemerintah telah dilakukan dengan selalu mengingat bahwa warga masyarakat adalah pusat dari segala upaya tersebut.
Model Pengembangan eGov Gartner Group, konsultan IT internasional berbasis di Connecticut, Amerika, mengembangkan sebuah model yang bisa dijadikan acuan bagi penerapan eGov. Pada dasarnya ada empat tahap yang bisa dilalui jika pemerintah ingin menerapkan eGov: presentasi, interaksi, transaksi, dan transformasi. Pada tahap presentasi, yang menjadi orientasi pemerintah adalah meng-upload semua informasi seperti misi organisasi, struktur organisasi, dan peraturan pada Internet. Tujuan utamanya adalah mendorong adminstrasi yang paperless dan sebagai media ‘unjuk gigi’ keberadaan lembaga pemerintah kepada masyarakat luas. Selanjutnya pada tahap interaksi, komunikasi dua arah antara pemerintah dan warga mulai terjadi secara terbatas karena beberapa dokumen bisa didownload dari Internet. Fasilitas pencarian mulai dipakai sehingga memungkinkan masyarakat memperoleh informasi yang mereka inginkan dari pemerintah. Pada tahap ini, email mulai digunakan sebagai media komunikasi alternatif. Pada tahap ketiga, masyarakat bisa memanfaatkan internet untuk melakukan ‘transaksi’ dengan pemerintah, misalnya pembayaran pajak dan perpanjangan SIM. Aplikasi yang dipakai pada tahap ini jauh lebih kompleks dari pada tahap sebelumnya karena aliran uang mulai terjadi. Tahap terakhir, eGov memungkinkan terjadinya transformasi dalam tubuh birokrasi. Integrasi antarlembaga pemerintah bisa dimungkinkan demi peningkatan kecepatan dan kualitas layanan publik. Pada tahap ini, teknologi informasi juga telah bisa memfasilitasi cara-cara baru pelaksanaan tata pemerintahan, misalnya pemilu secara online. Meski tahap tersebut berurutan, pemerintah yang ingin menerapkan eGov tidak harus dimulai dari tahap pertama. Bisa saja sebuah pemerintah bisa langsung melakukan tahap transaksi, tanpa melalui presentasi dan interaksi, karena pada dasarnya tahap yang lebih tinggi juga mencakup tahap sebelumnya. Pada tahap transaksi ini, misalnya, keberadaan pemerintah terakomodasi dan komunikasi dengan warga juga tetap terjadi. Yang perlu digarisbawahi dalam proses ini adalah pentingnya pembenahan internal dalam setiap tahap eGov. Meski hanya mempublikasikan informasi secara online, perubahan-perubahan kecil harus terjadi. Contoh, jika memang sudah berkeinginan meng-upload semua formulir secara online, maka upaya untuk mengurangi anggaran untuk barang cetakan juga musti menjadi prioritas. Dilihat dari kerangka ini, kebanyakan pemda di Indonesia masih berada pada tahap pertama dan kedua. Penulis belum menemukan adanya pemda yang mulai memberanikan diri untuk memasuki tahap transaksi.
Tantangan Pokok eGov Terlepas dari semua tahapan itu, penerapan eGov itu sendiri bukan sesuatu yang mudah. Teori, seperti model Gartner tersebut, adalah satu hal, sedangkan praktik adalah hal yang lain lagi. Dalam kaitan dengan eGov di Indonesia, ada tiga tantangan pokok yang musti diperhatikan karena akan menjadi kunci apakah ‘mimpi-mimpi’ yang ditawarkan eGov itu bisa dicapai. Artinya, pengabaian tiga hal ini sama artinya membuat eGov, yang seringkali disertai investasi puluhan atau ratusan juta rupiah ini, menjadi ‘barang mainan’ yang tidak jelas juntrungnya. Tantangan pertama adalah perubahan paradigma, dari ‘dilayani’ menjadi ‘melayani’, seperti telah disinggung di atas. Gampang diucapkan, tapi sulit dilakukan. Penulis tidak mengatakan ini tidak mungkin, tapi hanya menunjukkan bahwa hal ini seringkali jadi batu sandungan bagi eGov.
Otonomi daerah secara teoretik memang mendorong demokratisasi. Tapi pengalaman menunjukkan bahwa otonomi justru memunculkan banyak masalah baru yang pada gilirannya masyarakat yang jadi korban. Pelayanan publik sama buruknya dengan masa lalu dan korupsi justru semakin menjadi-jadi. Tampaknya ‘memikir diri sendiri’ masih penting dari pada memikirkan kepentingan publik. Ini menunjukkan betapa paradigma ‘melayani’ belum menjadi ciri khas kebanyakan pemda di Indonesia. Jika masih demikian, kepentingan warga akan sulit direpresentasikan.
Tantangan selanjutnya menyangkut kemampuan masyarakat untuk mengakses Internet, yang dipilih sebagai media utama eGov. Isu ini lebih dikenal sebagai kesenjangan digital (digital divide), sebuah istilah yang dipakai untuk menjelaskan adanya kenyataan bahwa tidak semua orang punya akses terhadap teknologi informasi, tidak hanya komputer dan internet, melainkan juga telepon, televisi, dan radio. Sebuah penelitian oleh lembaga internasional seperti International Telecommunication Union, misalnya, menunjukkan bahwa tingkat kepadatan internet dibanding total penduduk Indonesia tahun 2000 masih 0.9 persen! Jika melihat angka ini, apakah ada jaminan bahwa website pemerintah daerah akan bermanfaat bagi warganya? Jika tidak ada yang mengakses, lalu website itu untuk apa dan untuk siapa? Tantangan ketiga, yang tidak kalah pentingnya dengan kedua hal diatas, adalah proses politik yang terjadi dibalik penerapan eGov itu sendiri. Isu dalam proyek eGov sama halnya dengan proyek lain dalam tubuh pemerintah, yaitu apakah inisiatif diera informasi ini dijalankan secara transparan. Isu ini tentu penting, baik secara etis maupun praktis, dan pantas dikedepankan, mengingat beberapa pengalaman yang tidak mengenakkan yang terjadi pada beberapa pemda menyangkut, misalnya, biaya pembuatan website. Misalnya (sekali lagi, misalnya) jika memang ada pemda yang sampai harus mengeluarkan dana 1 milyar untuk membuat aplikasi eGov (atau mungkin hanya website) tanpa ada kejelasan untuk apa saja dana tersebut dikeluarkan, maka bisakah dijustifikasi bahwa eGov akan diarahkan untuk meningkatkan transparansi?
*)Lancaster, 28 Agustus 2003 Eko Julianto (ekojulian@yahoo.cm) Pegawai BPK Perwakilan Jogjakarta Peserta program MSc in Information Technology, Management, and Organisational Change, Lancaster University, United Kingdom Referensi Baum, C. & Di Maoi, A. (2000) ‘Gartner’s Four Phases of E-Government Model’,
http://aln.hha.dk/IFI/Hdi/2001/ITstrat/Download/Gartner_eGovernment.pdf, (27 Agustus 2003). Ihsan, M. (2003) ‘Warta Ekonomi e-Government Award 2003’, Warta Ekonomi.com, http://www.wartaekonomi.com/detail.asp?aid=1005&cid=20 (27 Agustus 2003). Osborne, D. & Gaebler, T. (1992) Reinventing Government: How Enterprise Spirit is Transforming the Public Sector, Massachusset: Addison-Wesley. Pemda DIY (2003) ‘DIY Penerima Anugerah e-Gov Award 2003’, Pemerintah Propinsi DIY, http://www.pemda-diy.go.id/berita/ (27 Agustus 2003). Shong, K. & Sin, S. (2001) ‘Volunteers and the digital divide – an experience in